Kontruksi tentang waria selama ini yang berkembang dimasyarakat dianggap
sangat menjijikkan. Ia tidak saja tidak dianggap sebagai identitas
gender yang otonom, lepas dari kontruksi laki dan perempuan, lebih dari
itu ia dikontruksi sebagai bentuk lain yang harus dibunuh. Haram dalam
perpektif agama-agama itulah salah satu dasar waria harus dilarang.
Pemahaman atas tels agama selama ini tentang waria memang sangat tidak
mengakomodasi keberadaannya. Waria oleh agama agama dianggap kelainan
seksual sekaligus kelainan sosial yang harus diberantas. Tafsir tunggal
agama dalam bentuknya heteroseksual jelaslah tidak mendapatkan tempat
bagi munculnya gerakan homoseksual yang menjadi kebiasaan kaum waria
selama ini. Disamping bermasalah dimata agama, waria juga dianggap
bermasalah dimata sosial. Hadirnya sosok waria yang berpenampilan molek,
bak perempuan “monggoda” yang dietalasekan dijalan jalan besar
perkotaan dianggap perusak rumah tangga orang. Bahkan perusak moral
masyarakat, terutama kaum laki-laki, sehingga harus dijauhkan dari
kehidupan masyarakat umumnya (tentu yang masuk dalam hegemoni wacana
seks tunggal). Atas dasar inipula, negara yang dalam bentuknya seperti
polisi, polisi pamongpraja, atau dinas sosial kerapkali melakukan
operasi penggerebekakka terhadap pangkalan pangkalan waria, saat
beroperasi. Bahkan dalam banyak kasus, seperti belakangan ini yang
terjadi di Surabaya, atas dasar penertiban sosial, banyak psk, dan waria
mengalami tindak kekerasan oleh aparat negara saat terjadi operasi.
Benarkah waria sampah masyarakat? Jawabnya tentu dari perspektif mana
kita memandang. Tapi yang pasti, waria khususnya di Indonesia adalah
nagia dari komunitas sub altern yang tidak bersuara bebas untuk
merepresentasikan kepentingan kepentingannya, termasuk memperjuangkan
kepentingan kepentingannya dalam kebijakan politik negara. Seiring
dengan suasana demokrasi yang berkembang belakangan ini di Indonesia
beberapa kelompok organisasi yang berlatar belakang wariapun muncul.
Organisasi kewariaan ini jelaslah hendak memperjuangkan kepentingan
kepentingan kolektif mereka. Sebut saja IGAMA (Ikatan Gay Malang), atau
Gaya Nusantara (di Surabaya), atau Iwama (ikatan waria malang) setidak
tidaknya hendak menyuarakan suara suara perih kaum gay dan waria yang
selama ini ditindas oleh wacana mainstream (agama dan negara). Bahkan
banyak juga kalangan gay atau waria yang secara pribadi memperjuangkan
diri untuk menduduki jabatan jabatan publik. Sebut saja Merlyn di Malang
yang secara pribadi mendaftarkan diri menjadi calon Walikota Malang
periode 2003-2008. Namun karena status sosialnya sebagai waria ia tidak
dianggap memiliki kelayakan untuk menjadi calon walikota Malang saat
itu. Kasus perjuangan kaum gay ,seperti Dede oetomo di Surabaya yang
mencalonkan diri menjadi anggota DPD perwakilan Jawa Timur pada pemilu 5
April lalu setidaknya juga merepresentasikan kepentingan kaum gay dan
waria. Nah, dalam liputan ngaji budaya kali ini hendak mengekspose
pergulatan kum waria sehari hari. Mulai di difatwa haram oleh kalangan
agamawan, dikerjar kejar oleh aparat negara, sampai mereka mengorganisir
diri untuk memperjuangkan kepentingan kepentingan mereka. Liputa ini
mengambil lokus kecil diwilayah perkotaan surabaya dan malang. Berbagai
acara disiapkan oleh masyarakat untuk menyambut datangnya bulan suci
Ramadhan. Salah satu kelompok yang dengan sigap mempersiapkan diri itu
adalah Pemuda Muhammadiyah Surabaya. Bersama 9 komponen umat Islam
lainnya, yaitu Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, Ikatan
Remaja Masjid, Nasyi’atul Aisiyah, Pelajar Islam Indonesia, Hizbut
Tahrir Indonesia, dan Hidayatullah, Pemuda Muhammadiyah mendirikan
sebuah gerakan yang dinamakan Posko Anti Maksiat. Menurut Aqib Zarnuji,
MAg, Ketua Pemuda Muhammadiyah Surabaya yang juga Koordinator Posko Anti
Maksiat, tujuan pembentukan Posko Anti Maksiat tersebut untuk
memberikan peringatan (warning) bagi pelaku maksiat yang ada di
Surabaya. “Kami melihat baik Pekerja Seks Komersial (PSK) maupun waria,
terutama yang dijalan-jalan itu, jelas melakukan protitusi, bahkan
sangat mungkin juga terlibat dengan narkoba. Walaupun kami belum
memiliki data yang akurat, tapi sekilas melihat tampilan mereka yang
soronok, dan mengarah pada pornoaksi itu jelas merupakan tindakan
prostitusi. Ini merupakan penyakit sosial yang harus dihabiskan,” tegas
Aqib. Masih menurut Aqib, Posko tersebut menggunakan jaringan remaja
masjid se-Surabaya untuk melakukan pemantauan di sekitar lingkungannya.
Jadi para remaja masjid itu akan menjadi informan atas tindak maksiat
yang berlangsung di tengah masyarakat. Hal ini, menurut Aqib, dilakukan
sebagai bentuk partisipasi masyarakat atas diberlakukannya Peraturan
Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2003 yang mewajibkan tempat hiburan malam
di Surabaya untuk tutup selama bulan Ramadhan. “Kami memang berharap
aparat lebih intensif dalam melakukan ketertiban sosial, sebab mereka
yang berwenang untuk memaksa para PSK dan waria untuk menjauhi tindakan
maksiat,” lanjut Aqib. Aqib, dan mungkin juga sebagian muslim lainnya,
merasa menutup tempat-tempat hiburan dan merazia para PSK dan waria
merupakan amal saleh. Karena dengan begitu ia telah menjalankan ajaran
Islam untuk menganjurkan kebaikan dan menjauhkan kemunkaran (amar makruf
nahi munkar). Namun satu hal yang mungkin sering dilupakan oleh Aqib
dan kawan-kawannya, apakah mereka sudah memikirkan alternatif apa yang
bisa diberikan kepada para PSK dan waria itu, setelah mereka melarang
dan menutup tempat mereka mencari nasfkah? Bukankah waria dan PSK itu
juga manusia yang membutuhkan nafkah untuk kehidupannya? Tim Ngaji
Budaya sendiri, di malam pertama bulan Ramadhan yang lalu sempat
berdiskusi panjang dengan para PSK dan waria itu. Mereka malam itu
nyaris tidak memperoleh uang. Mereka menyatakan sedih sekali, karena
selama ini mereka selalu dilihat aspek buruknya saja, mulai dari
pengganggu ketertiban sosial, sarang prostitusi, kriminalitas dan tempat
meruaknya penyakit-penyakit sosial lainnya. Karena itu mereka setiap
saat mendapat ancaman razia dari berbagai kelompok masyarakat. Jarang
ada pihak yang mau berempati terhadap kelompok ini. Paling tidak itulah
yang dirasakan Mbak Yayuk, Ketua Perwakos (Persatuan Waria Kota
Surabaya), yang malam itu kami temui di Jalan Irian Barat (yang terkenal
dengan sebutan Irba). Ia mengatakan, kehadiran dirinya bersama
kawan-kawan waria di Irba tak lebih dari upaya menyambung hidup saja.
Jika saja ada perkerjaan yang lebih bagus tentu mereka akan menerimanya
dengan suka cita. “Siapa sih mas, yang suka dengan pekerjaan seperti
ini? Apalagi orang yang sudah tua seperti saya ini, tambah susah. Saya
tidak cantik seperti gadis-gadis itu. Kasarnya saya ini sudah tidak
laku. Jadi kalau ndak pandai-pandai usaha, ya bagaimana bisa menyambung
hidup,” ujar Yayuk dalam dialek Surabaya yang kental sambil menunjuk
beberapa gadis muda PSK. Kegundahan Yayuk setidaknya merepresentasikan
bahwa kehidupan saat ini tidaklah ramah terhadap kalangan waria yang
dalam kategori sosial menempati jenjang paling bawah dari struktur
sosial. Banyak upaya yang sudah dilakukan para waria itu untuk menggapai
kehidupan yang lebih baik. Diantaranya dengan membentuk organisasi.
Melalui organisasi itulah mereka melakukan aktivitas yang positif bagi
diri mereka sendiri dan masyarakat di sekitarnya. Salah satu organisasi
itu adalah Elit Model Waria yang dikoordinir oleh Kiki. Kiki tegas
menolak kalau waria hanya dikonstruksi sebagai penyakit sosial yang
hanya bisa menebar kemaksiatan. Kiki menyatakan bahwa waria juga
memiliki prestasi yang membanggakan. Kiki bersikeras ingin menunjukkan
bahwa waria juga memiliki karya, memiliki prestasi kerja layaknya
masyarakat lainnya. “Jangan salah, anggota kami juga ada yang memiliki
posisi prestesius yang selama ini dibanggakan orang. Kami juga bisa
menjadi mitra pemerintah untuk sosialisasi berbagai program pemberdayaan
masyarakat. Seperti beberapa tahun belakangan ini kami gencar sekali
melayangkan kampanye Anti AIDS ke seluruh pelosok masyarakat, termasuk
para pekerja seks komersial,” ujarnya. Kiki bersama rekan-rekannya
selama ini memang getol untuk memberdayakan keterampilan dan intelegensi
kaumnya. Teman-teman Kiki, yang tergabung dalam Elit Model memang
semuanya waria, tapi tak semuanya dandan. Banyak juga di kalangan mereka
yang sangat maskulin, seperti mereka yang bekerja di sektor publik
seperti pegawai bank, atau wiraswasta. Kiki sendiri mengakui ada waria
yang jahat, tetapi tidak bisa kalau dikatakan semua waria jahat. Namun
repotnya, selama ini masyarakat pada umumnya (mainstream) sudah memiliki
gambaran bahwa semua waria jahat. Hal ini sangat berbeda dalam
memandang orang laki-laki dan perempuan, yang selalu bisa dipilah mana
yang jahat dan mana yang tidak. Kiki dan teman-temannya yang tergabung
dalam Elit Model Waria, hendak menyampaikan pesan kepada publik bahwa
waria juga bisa berbuat sesuatu yang berguna bagi publik, tak hanya bisa
menjual diri. Kalangan waria seperti Kiki dan Mbak Yayuk sangat
berharap kontruksi buruk yang selama ini dilekatkan kepada waria segera
dikurangi kalaupun toh tak bisa menghilangkannya. Totalitas kalangan
waria yang tergabung dalam Elit Model untuk memperjuangkan citra positif
bagi waria agaknya bukan sekedar bualan kosong. Ragam prestasi telah
banyak mereka ukir. Dalam kesaksiannya, banyak kalangan waria yang
menjadi wiraswasta seperti; kepemilikan salon, kepemilikan perusahaan
garmen, kepemilikan sekolah-sekolah modeling yang justru membantu
pemerintah dan masyarakat menciptakan lapangan kerja bagi bangsa
Indonesia. Contohnya apa yang dilihat Tim Redaksi Ngaji Budaya beberapa
waktu lalu di rumah Kiki di daerah Sepanjang, Sidoarjo. Saat itu Kiki
dan kawan-kawannya baru saja mengantarkan delegasi Jawa Timur untuk
mengikuti kontas Ratu Waria Indonesia, yakni Sopie. Dalam kontes
tersebut Sophie berhasil menggondol tropi nasional, dan selanjutnya
mereka mewakili Indonesia dalam kontes Ratu Waria Sedunia di Pattaya,
Thailand. “Jadi jangan salah Mas, waria itu juga punya rasa
nasionalisme. Kami membayangkan suatu saat nanti kami akan menjadi Ratu
Waria se Dunia, dan Lagu Indonesia Raya berkumandang disana, alangkah
terharunya kami,” ungkap Kiki menerawang. Apa yang dibayangkan Kiki
bukanlah mimpi. Karena beberapa waktu lalu Indonesia memang pernah
memenangkan Miss Universe (waria) di Amerika Serikat. Saat itu yang
mewakili Indonesia adalah Cheny Han. Jelaslah ini prestasi kalangan
waria yang bisa dipersembahkan untuk bangsanya. Di luar kontes-kontes
itu, para waria yang tergabung dalam Elit Model juga memiliki kegiatan
sosial. Setiap bulan mereka secara khusus meluangkan waktunya untuk
membuat agenda-agenda sosial berkunjung ke panti-panti asuhan,
memberikan sumbangan ke tempat-tempat ibadah, mengikuti acara buka puasa
bersama, sahur bersama, menyumbang waria manula. Semua kegiatan ini
sudah berlangsung sejak lama, namun sangat jarang media yang mengekspos
kegiatan mereka. Toh semua upaya yang dilakukan oleh para waria semacam
Kiki atau Yayuk, tak juga mampu untuk meruntuhkan image publik yang
terlanjur melekatkan dengan dunia waria sebagai dunia malam yang serba
hura-hura, dunia prostitusi dan narkoba. Namun para waria itu terus
berupaya melawan pandangan mainstream yang tak menguntungkan itu dengan
kegiatan-kegiatan riil yang bermanfaat bagi diri mereka dan masyarakat
di sekitarnya. Memang itu semua membutuhkan proses yang panjang, yang
tentu semua kalangan terutama tokoh-tokoh masyarakat dan agama memiliki
peran sentral dalam membentuk persespsi tentang waria. Jika memang kita
memiliki komitmen terhadap demokrasi dan pluralisme, seharusnya kita mau
berbagi hati dan ruang kepada kaum minoritas dan marjinal seperti waria
ini. Islam sendiri sangat menghargai keberagaman manusia. Islam ingin
mengangkat harkat semua umat, bukan menghancurkannya. Wama arsalnaka
illa rahmatan lil alamin. Lalu kenapa kita mesti menghardik mereka,
dengan mengatasnamakan Islam pula?
Diambil dari :http://imronfauzi.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahakan kirimkan ide/pertanyaan anda mengenai postingan salon yang baru saja anda baca.
gar blog ini tetap mengikuti perkembangan Salon-salon di Indoensia