Tampilkan postingan dengan label Produk Kosmetik yang DILARANG. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Produk Kosmetik yang DILARANG. Tampilkan semua postingan

Konsumen Diminta Waspadai Kosmetik Impor


diambil dari : http://www.surabayapost.co.id/

JAKARTA - Sebagian produk kosmetik yang beredar di pasaran merupakan produk ilegal, tidak memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia sesuai ketentuan.

Hal itu diungkapkan Ketua Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetik Indonesia (PPAKI), Putri Kuswisnuwardhani, di kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jakarta, Senin (23/8). Produk kosmetik impor ilegal yang beredar di pasaran, menurut dia, kebanyakan berupa produk pemutih dan pelangsing. "Di antaranya masih ada produk pemutih yang menggunakan hidroquinon, bahan yang sudah dilarang digunakan oleh Badan POM," katanya.

Ia meminta pemerintah segera mengambil tindakan untuk mencegah masuknya produk kosmetik ilegal yang berisiko membahayakan kesehatan masyarakat dan membuat pemerintah kehilangan pendapatan dari pajak barang impor. Pemerintah, kata dia, juga harus menindak pihak-pihak yang mendatangkan dan mengedarkan produk kosmetik impor di pasaran.


"Konsumen juga harus dikasih tahu bahwa menggunakan produk ilegal bisa membahayakan karena kita bahkan tidak tahu secara pasti apa yang terkandung di dalamnya," kata Putri Kuswisnuwardhani, yang juga mengungkapkan kalau lonjakan impor produk kosmetik pada semester pertama 2010 telah membuat industri kosmetik dalam negeri tidak tumbuh.

"Kosmetik stagnan karena di lapangan produk jamu dan kosmetik impor makin deras masuk ke pasaran," kata Putri. Ia mengatakan, selama 2009 nilai penjualan produk kosmetik mencapai Rp10 triliun dan tahun ini angkanya diperkirakan tidak bergerak naik akibat serbuan produk kosmetik impor yang antara lain berasal dari China, Taiwan, Thailand dan Korea. "Karena kontrol impor melonggar, sementara ekspor seret," katanya.


Putri tidak menyebutkan kisaran peningkatan impor produk kosmetik. Ia hanya menyebutkan peningkatan impor beberapa produk kosmetik yakni shampo sebesar 25 persen dan produk perawatan gigi naik 32 persen. ant


Kosmetik China, Taiwan, Thailand, Korea Ilegal; Sangat Membahayakan Konsmen


Pertumbuhan Penjualan Kosmetik Lokal Macet


Harian Ekonomi Neraca 
Industri


Jakarta - Lonjakan impor produk kosmetik pada semester pertama 2010 telah membuat industri kosmetik dalam negeri tidak tumbuh. Pada tahun 2009, nilai penjualan produk kosmetik mencapai RplO triliun, sementara tahun ini angkanya diperkirakan tidak bergerak naik akibat serbuan produk kosmetik impor yang antara lain berasal dari China, Taiwan, Thailand dan Korea

"Kosmetik stagnan karena di lapangan produk jamu dan kosmetik impor makin deras masuk ke pasaran. Kondisi itu terjadi karena kontrol impor mel-onggar sementara ekspor seret," kata Ketua Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetik Indonesia (PPAK1) Putri Kuswis-iHiw.inlli.ii ii di Jakarta,

Senin.

Namun Putri tidak menyebutkan kisaran peningkatan impor produk kosmetik. Ia hanya menyebutkan peningkatan impor beberapa produk kosmetik yakni shampo sebesar 25% dan produk perawatan gigi naik 32%.

Putri menjelaskan bahwa sebagian produk kosmetik yang beredar di pasaran merupakan produk ilegal, tidak memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia sesuai ketentuan.

Produk kosmetik impor ilegal yang beredar di pasaran, lanjut dia, kebanyakan berupa produk pemutih dan pelangsing. "Di antaranya masih ada produk pemutih yang menggunakan hidroquinon, bahan yang dilarang digunakan Badan POM," jelasnya.

Dia meminta pemerintah segera mengambil tindakan untuk mencegah masuknya produk kosmetik ilegal yang membahayakan kesehatan masyarakat dan membuat pemerintah kehilangan pendapatan dari pajak barang impor.

Pemerintah, sambung Putri, juga harus menindak pihak-pihak yang mendatangkan dan mengedarkan produk kosmetik impor di pasaran. "Konsumen juga harus dikasih tahu bahwa menggunakan produk ilegal bisa membahayakan karena kita bahkan tidak tahu secara pasti apa yang terkandung di dalamnya," terangnya.

Menurut Putri, tren membanjirnya produk impor kosmetik dan jamu yang mudah masuk ke pasar dalam negeri terjadi semenjak adanya AC-FTA khususnya ketika produk jamu dan kosmetik sudah mengalamipenghapusan tarif 0%.

Sementara produk ekspor kosmetik dan jamu Indonesia ke negara lain justru mengalami perlakuan ketat termasuk dihadang dengan non tarif barrier.

"Masing-masing negara tujuan ekspor justru mengetatkan diri, berbeda sebelum adanya AC-FTA. Misalnya pendaftaran di negara tujuan ekspor lebih lama, dengan sendirinya ini sebagai non tarif barrier," jelasnya.

Namun kondisi yang berlawanan terjadi di Tanah Air, pemerintah Indonesia justru sangat terbuka terhadap barang-barang impor seperti jamu maupun kosmetik.

Putri menambahkan pasar kosmetik dalam negeri per tahunnya mencapai Rp 35 triliun, di mana sebanyak 20% diisi oleh produk impor sedangkan sisanya produk lokal. "Tapiyang 20% itu legal, belum yang ilegalnya," jelas Putri. Sejatinya masalah regulasi terkait pencegahan peredaran produk jamu dan kosmetik yang mengandung zat berbahaya sudah ditetap dalam beberapa regulasi namun sayangnya eksekusinya di lapangan nil. 

Produk China di Jawa Barat


Dewan Rekomendasikan Penundaan ACFTA

DIPONEGORO,(GM)-
Perwakilan buruh bersama DPRD Jabar telah menyerahkan rekomendasi penundaan pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) atau perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Cina ke Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) RI, Muhaimin Iskandar dan Komisi IX DPR RI, baru-baru ini. Rekomendasi itu diberikan terkait adanya desakan ribuan buruh ke Pemprov Jabar dua pekan lalu.

"Ya, Senin (18/1) kita sudah menyerahkan rekomendasi penundaan ACFTA kepada Menakertrans dan Komisi IX DPR. Kami mengharapkan rekomendasi dari buruh Jabar yang difasilitasi pemerintah dan DPRD-nya bisa menjadi bahan pertimbanagan pemerintah pusat untuk menunda pelaksanaan ACFTA," ungkap Koordinator Buruh Jabar, Roy Jinto Ferianto saat dihubungi "GM", Selasa (19/1).

Di Depnakertrans dan Komisi IX DPR RI, pihak buruh diterima Dirjen Tenaga Kerja dan Wakil Ketua serta sejumlah angota Komisi IX DPR RI. Menurutnya pihak Depnakertrans maupun Komisi IX DPR RI sangat memahami harapan dan rekomendasi para buruh Jabar tersebut.

Untuk menindaklanjuti soal ACFTA, kata Roy, Komisi IX DPR RI akan menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama Menakertrans, Senin (25/1). "Kami sangat mengharapkan implementasi ACFTA ini ditunda dulu, hingga produk kita bisa bersaing dengan yang lain," imbuhnya.

Ia menilai, harga produk industri di Indonesia masih mahal dibanding produk Cina. Jika ACFTA ini terus dilaksanakan, maka produk Indonesia akan kalah bersaing dengan produk Cina. Lambat laun persaingan itu akan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Di samping itu, infrastruktur industri di Indonesia pun belum maksimal.

Ia mengatakan, sebenarnya pihak buruh tidak menolak pemberlakuan ACFTA. Namun mereka berharap implementasinya ditunda terlebih dulu. ACFTA bisa dilaksanakan setelah infrastruktur dan SDM perindustrian dibenahi. "Atau setelah di negeri kita ini tidak ada lagi korupsi, suku bunga perbankan direndahkan, dan kesejahteraan masyarakat meningkat," ujar Roy.

Penyerahan rekomendasi dari buruh dan pemerintah Jabar dibenarkan anggota Komisi E DPRD Jabar, Aceng Roni Syahbana. "Ya, kita sudah meyerahkan rekomendasi tersebut ke DPR dan Menakertrans, Senin (18/1). Yang ikut mendampingi buruh pimpinan Komisi D," ujar Aceng.

Menurutnya, DPRD Jabar sepakat dengan para buruh yang menginginkan agar implementasi ACFTA ditunda, setelah para pelaku usaha dan buruh siap menghadapi perdagangan bebas ASEAN-Cina tersebut.

UMKM terpuruk

Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Jabar, Dede Sumirto didampingi Sekum Hipmi Jabar, Agus Imam Santosa memperkirakan, perdagangan bebas ASEAN-Cina membuat UMKM dalam negeri terpuruk. Hal itu disebabkan pemerintah kurang perhatian terhadap UMKM, sehingga UMKM dalam negeri belum siap menghadapi perdagangan bebas.

"Jelas dengan perdagangan bebas ini UMKM dalam negeri akan kalah bersaing. Karena produk dari Cina cenderung lebih murah dari produk UMKM kita. Hal itu dikarenakan mereka mendapat perhatian khusus dari pemerintahnya," jelas Dede kepada wartawan, usai menggelar rapat pleno Hipmi Jabar tentang dampak perdagangan bebas ACFTA.

Diungkapkan Dede, perdagangan bebas akan mengancam semua sektor di UMKM. Namun demikian yang paling merasakan dampaknya adalah sektor tekstil, persepatuan, manufaktur, kerajinan, dan lainnya.

Dikatakan, saat ini Hipmi Jabar memiliki sekitar 2.000 anggota UMKM. Bila 1 anggota UMKM memiliki tenaga kerja sekitar 50 orang maka jumlah tenaga kerja yang terserap di UMKM Hipmi Jabar sedikitnya 100.000 tenaga kerja. Sehingga pemberlakuan perdagangan bebas ini tentu saja akan mengancam eksistensi mereka.

"Selain mengancam semua pelaku UMKM, perdagangan bebas pun tentu akan mengancam para tenaga kerja. Kalau hal ini dibiarkan dan tidak ada keberpihakan dari pemerintah, bisa jadi 100.000 tenaga kerja ini akan menganggur," katanya.

Konsumen jadi korban

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Jabar-Banten-DKI, Firman Tanudraya, S.H. mengatakan, dampak buruk perdagangan bebas ASEAN-Cina juga akan dirasakan konsumen. Pasalnya kondisi itu dapat menyebabkan banyak beredarnya produk makanan dan kosmetik yang membahayakan kesehatan. Terlebih konsumen di Jabar yang sadar terhadap bahaya itu masih sangat minim, hanya 20%. 
"Pemerintah lupa, sama sekali tak menyentuh konsumen. Padahal di era perdagangan bebas ASEAN-Cina ini, kecenderungannya konsumen akan lebih banyak dirugikan lagi. Hal itu karena barang-barang impor, khususnya dari Cina, baik yang legal maupun ilegal akan lebih banyak lagi membanjiri Indonesia, termasuk Jabar. Apalagi barang-barang impor tersebut jauh lebih murah dibanding produk lokal," ungkapnya selepas sosialisasi UU No. 9/1999 tentang Perlindungan Konsumen di Aula Kec. Cimahi Tengah, Kota Cimahi.

Menurutnya selama ini produk makanan/minuman, kosmetik, dan produk impor lainnya seringkali mengandung bahan-bahan yang dilarang di dalam negeri. "Pada produk makanan impor sering ditemukan zat pengawet atau melamin yang berbahaya bagi kesehatan. Begitu juga dalam kosmetik, ada yang mengandung merkuri, yang bisa menyebabkan kanker," tandas Firman.

Di sisi lain, ia mengatakan, kesadaran konsumen terhadap bahaya tersebut sangat kurang. Hasil pengamatan di berbagai daerah di wilayah Jabar, Banten, dan DKI Jakarta, masyarakat yang sadar akan bahaya produk makanan maupun barang lainnya, secara umum hanya 15-20%. Hal itu sejalan dengan tingkat pemahaman terhadap UU Perlindungan Konsumen, yang menurutnya persentase pemahamannya tidak lebih dari 20%. 

Redaksi Salon Indonesiablogspot

Tertarik Produk Anda di Publikasi

Hubungi:
Redaksi Salon Indonesia

Powered By Blogger

Link Seputar Dunia Salon dari Indonesia

Salon
Make up Artist Indonesia
Produk
Kosmetik
SPA
Majalah
dll

Salon Indoneisa

Salon Indoneisa

Produk- Produk Salon

Travel Promo